Pers Mahasiswa: Barisan Terdepan atau Sekadar Penggembira?

Fajri WP
178
Sumber foto: Pribadi

Pers mahasiswa (Persma) adalah organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang jurnalistik. Ia lahir untuk menyuarakan aspirasi mahasiswa, mengawal kebijakan kampus, dan menjaga ruang kritis di lingkungan akademik. Bukan sekadar dokumentator acara atau pembuat konten seremonial, Persma sejatinya berperan sebagai pilar kebebasan berekspresi dan kontrol sosial di dalam kampus.

Namun, idealisme itu kini mulai tergerus.

Kenapa Persma makin sepi? Jawabannya sederhana: karena ada kalanya kampus tak sepenuhnya memberikan dukungan dan mahasiswa juga mulai kehilangan semangat untuk peduli. Persma kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) bukan karena tak ada yang bisa menulis, tapi karena terlalu banyak yang lebih memilih diam, takut, atau sibuk mengejar sertifikat organisasi tanpa mau bersentuhan dengan risiko bernama kebenaran. Di tengah gemuruh konten reels, tiktok dan story pencitraan, ruang-ruang redaksi dibiarkan kosong, sunyi, dan dilupakan. Maka tak heran, Hari Kebebasan Pers diperingati dengan doa-doa dalam hati, bukan dengan tulisan yang mengguncang nurani.

Para jurnalis kampus seringkali berdiri di antara dua dunia. Di satu sisi, digadang-gadang sebagai pewaris semangat idealisme mahasiswa 98. Di sisi lain, juga kerap dicurigai, dibungkam, bahkan dipelintir hanya karena menulis sesuatu yang tak nyaman bagi beberapa pihak. Ironisnya, tekanan semacam ini tak selalu datang dalam bentuk larangan langsung. Kadang ia menyamar lewat permintaan halus: “Tolong ditulis yang positif-positif saja ya.”

Lalu kita pun mulai terbiasa. Terbiasa menjadi tim dokumentasi acara, bukan pengawas jalannya kebijakan kampus. Terbiasa menulis “lomba ini sukses diselenggarakan” tanpa pernah bertanya: ke mana anggaran kegiatan sebenarnya mengalir? Terbiasa diam saat ada dugaan penyelewengan, hanya karena “kita takut dikeluarkan dari kampus.”

Padahal, ketika mencoba naik level dan menyusun berita investigasi, tantangan yang datang bukan hanya dari data yang minim. Kita juga berhadapan dengan tembok diam: pimpinan kampus enggan memberi keterangan, ketua lembaga bungkam saat dimintai konfirmasi, bahkan mahasiswa sendiri sering menghindar dengan dalih “tidak mau ikut campur.” Investigasi yang seharusnya menjadi nadi jurnalisme, malah jadi proses yang membuat jurnalis kampus terlihat seperti orang iseng yang ingin cari ribut.

Pemberitaan investigasi kerap dianggap tajam dan tidak mengenakkan. Namun, pemberitaan semacam itu bukanlah upaya untuk menyudutkan, melainkan bagian dari pelaksanaan fungsi jurnalistik yang adil dan berimbang, sebagaimana diamanatkan oleh prinsip dasar jurnalisme. Pengungkapan masalah tidak identik dengan kebencian terhadap pihak yang disorot—justru bisa dimaknai sebagai bentuk kepedulian agar kampus terus bertumbuh ke arah yang lebih baik.

Persma yang dulu berdiri gagah di garda depan perjuangan, kini banyak yang memilih berdiri di balik backdrop acara. Bukan karena kehilangan kemampuan, melainkan karena iklim yang kurang mendukung keberanian bersuara. Ketakutan akan stigma, keterbatasan akses, hingga tekanan tidak langsung kerap membuat langkah menjadi lebih berhati-hati.

Namun benarkah peran jurnalis kampus hanya sebatas peliput kegiatan, pencatat notulen, atau perancang desain ucapan hari besar yang ramai di media sosial kampus?

Tentu tidak. Peran itu seharusnya jauh lebih besar—menjadi ruang refleksi, kritik, dan kontrol sosial yang sehat di lingkungan akademik.

Kebebasan pers bukan hanya milik wartawan nasional atau media besar. Ia juga hidup di ruang-ruang kecil seperti sekretariat pers mahasiswa yang sederhana. Ia menyala dalam berita investigasi yang luput dimuat, tapi diam-diam diperbincangkan banyak pihak. Ia hadir dalam diskusi hangat selepas rapat redaksi—tentang sejauh mana keberanian masih bertahan untuk menyampaikan kebenaran, meski risikonya tak selalu ringan.

Pers mahasiswa adalah satu dari sedikit ruang bebas yang masih dimiliki oleh mahasiswa di tengah dinamika kampus yang kian pragmatis. Perannya bukan sekadar menyuarakan program, melainkan menjaga nalar kritis dan menjadi ruang alternatif bagi suara-suara yang jarang terdengar.

Jika keraguan untuk menulis mulai tumbuh karena khawatir dianggap tidak sejalan, mungkin ini saatnya merenung ulang:
Apakah kita masih jurnalis yang mengawal ruang kritis?
Ataukah sekadar pelaksana yang berjalan tanpa suara?

Di Hari Kebebasan Pers ini, mari bukan hanya merayakan, tapi juga merenung dan merefleksikan: sudahkah ruang kebebasan benar-benar hadir dalam kehidupan kampus? Jika belum, mungkin inilah saatnya membuka ruang diskusi dan keberanian bersama.

Pers mahasiswa tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan ruang yang terbuka, akses yang adil, serta kepercayaan dari seluruh elemen kampus. Dukungan bisa hadir lewat hal-hal sederhana—memberi keterangan saat diminta, menjawab dengan jujur, atau mempermudah proses peliputan. Karena menjaga kebebasan berekspresi bukan hanya tugas mereka yang menulis, tapi juga tugas kita semua yang percaya pada pentingnya keterbukaan.

 

Fajri WP

Wawasanproklamator.com Jauh Lebih Dekat

TAGS:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

Berita Terkait

Setelah Dua Tahun Vakum Organisasi Lembaga Mahasiswa FTI Kembali Aktif
Tumbuhkan Semangat Seni, UKM-Kesprok Adakan Orientasi Caang ke-XIX

TERBARU

Iklan

TERPOPULER

Berita Terkait

Setelah Dua Tahun Vakum Organisasi Lembaga Mahasiswa FTI Kembali Aktif
Tumbuhkan Semangat Seni, UKM-Kesprok Adakan Orientasi Caang ke-XIX
Menu