Ziarah kubur menjelang Ramadhan merupakan tradisi telah berlangsung turun-temurun di seluruh daerah di Indonesia. Tradisi ziarah dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur pengingat akan kematian, sehingga umat Muslim dapat memasuki bulan suci dengan hati yang bersih dan penuh kesadaran spiritual. Biasanya, adab para peziarah mengucapkan salam dilanjutkan dengan membersihkan makam, menabur bunga, menyiram air serta membacakan doa-doa ampunan dan keberkahan untuk mereka yang telah meninggal.
Perjalanan yang saya tempuh tahun ini tertunda selama satu jam, karena hujan deras yang mengguyur sejak dini hari membuat terhenti hingga pukul 08:00 WIB. Langkah perjalanan kaki saya berziarah dibersamai Ibu, Abang, dan Keponakan. Terletak di Lintang Selatan kecamatan bagian Kota Padang disebut dengan daerah Lubuk Begalung, dari sinilah saya memulai perjalanan menuju lokasi pemakaman yang terletak di Puncak Bukit Tarantang.
Di tengah perjalanan, saya berhenti sejenak untuk membeli bunga tabur, yang menjadi bumbu tradisi yang tak terpisahkan bagi peziarah. Sepanjang jalan menuju kuburan, banyak pedagang yang menjajakan berjualan bunga. Harga per bungkusnya cukup terjangkau, hanya Rp5.000, sehingga saya memutuskan untuk membeli beberapa.
Perjalanan masih berlanjut hingga akhirnya saya tiba di kaki bukit. Di area perjalanan menuju kuburan Puncak Bukit Tarantang saya menemukan pedagang makanan tradisional tempat merehatkan letih para peziarah. Seorang pedagang itu akrab dipanggil Ibu Mira, aneka ragam cemilan, makanan tradisional dan minuman pelepas dahaga itulah menu jualan yang ada di kedai Ibu Mira.
Ia mengatakan, menjelang Ramadhan momentum yang selalu dinantikan setiap tahun. Pengakuan dari Ibu Mira dirinya sudah berjualan selama lima tahun lalu disini, setiap menyambut bulan suci yang berziarah memang ramai setiap tahunnya.
“Satu-satunya yang berjualan di sini adalah saya. Menuju bulan yang penuh berkah saya merasakan manfaatnya besar dari tradisi ini, ziarah jelang Ramadhan semoga tetap lestari,” katanya.
Sebenarnya, kuburan yang saya tuju adalah makam nenek, bertempat di puncak sebuah bukit kecil. Perjalanan mendaki menjadi tantangan tersendiri, terlebih setelah hujan yang membuat jalanan semakin licin dan curam. Beberapa peziarah bahkan terlihat terpeleset saat mendaki.
Saat saya tiba di area pemakaman, suasana masih cukup sepi, dikarenakan hujan baru saja reda. Setengah perjalanan, ada cerita hangat menghampiri menuai tawa dan kasihan. Keponakan saya mendapatkan sengatan lebah di tangannya. Namun, karena cukup tangguh, ia tidak menangis dan tetap melanjutkan perjalanan.
Saya pun memulai ziarah dengan membersihkan rumput liar yang menutupi makam, menaburkan bunga, menyiramkan air dan membacakan doa. Tak lama berselang, beberapa kerabat yang juga datang untuk berziarah mulai berdatangan. Mengingat ini adalah kuburan keluarga, pertemuan dengan sanak saudara menjadi bagian yang menghangatkan hati. Kami berbincang-bincang dan berbagi cerita, hingga tanpa terasa matahari mulai meninggi.
Dari puncak bukit, saya bisa melihat hamparan luas Kota Padang. Namun, karena panas mulai terasa terik, saya memutuskan untuk turun. Ketika saya menuruni bukit, semakin banyak orang yang berdatangan. Jalanan yang sudah becek semakin sulit dilewati, dan sekali lagi, saya melihat beberapa orang terpeleset.
Sesampainya kembali di kaki bukit, tempat warung tadi, saya sedikit melipir ke kiri dan mendapati sebuah air terjun yang bernama Air Terjun Tarantang. Saya tentu tergerak untuk menuju ke sana, mencuci tangan dan kaki yang terkena tanah, sekaligus mencuci mata menikmati indahnya air terjun.
Fajri WP
Wawasanproklamator.com Jauh Lebih Dekat