Selamat Tinggal, Tami

Jeje WP
1,226

Kebanyakan manusia pasti memiliki teman dalam hidupnya. Walau kadang ada yang berkata mereka tidak memiliki teman, tapi sebetulnya mereka memilikinya. Hanya saja mereka terlalu tidak peka dengan keadaan sekitarnya.

Oh iya, perkenalkan nama aku Winanda Arruum Shafira. Aku juga memiliki seorang teman. Gadis manis bernama Tamira Arviana. Aku berteman dengannya sejak kami masih jadi mahasiswa baru di salah satu kampus swasta di kotaku.

Kisah ini dituliskan bukanlah untukku, melainkan untuk gadis hebat dan pemberani, Tami. Bagiku Tami bukan hanya sekadar teman sejawat. Bagiku dia adalah adik, kakak, guru, bahkan teman hidup. Setidaknya aku berharap tetap bisa menjadi temannya hingga nanti.

Tamira selalu ada untukku. Bahkan di saat dia sakit dan aku membutuhkan pertolongan, dia tetap berusaha sebisa mungkin untuk membantuku. Aku yang hampir setiap hari mengeluh, selalu didengarkannya. Bahkan tak jarang juga dia memberiku beberapa saran yang berarti. Tami orangnya supel, ceria, dan mudah bergaul. Mungkin karena sifatnya itu jugalah ia jadi gampang tersorot di mana pun ia berada. Ia juga aktif di berbagai kegiatan mahasiswa dan dia juga terkenal di kalangan dosen karena dia juga pintar. Kapanpun dan bagaimanapun, Tami selalu tersenyum. Seolah dia dilahirkan memang hanya untuk merasakan kebahagiaan.

Entah perasaan jahat dari mana, terkadang aku merasa iri dengannya. Aku juga bingung, entah bagian mana yang membuatku iri. Tapi kurasa, semua yang ada di Tamira selalu membuatku merasa iri. Tapi lambat laun aku mengerti, perasaan yang selama ini kurasakan hanya rasa kepercayaan diriku yang rendah. Aku merasa tersaingi dengan kehadirannya, aku minder dengan dia, dia yang membuatku hilang percaya diri.Aku tahu, seorang teman seharusnya tidak memiliki rasa persaingan, tapi aku juga tidak bisa menahan perasaanku. Aku sadar ini salah, maka dari itu aku selalu berusaha untuk mengontrol emosiku.

Pernah di suatu masa, pada saat itu perasaanku sedang tak karuan. Saat itu juga untuk pertama kalinya aku mendengar Tamira mengeluh kepadaku. Entah kenapa aku kesal mendengarnya.

“Aku capek banget, deh, Na. Hari ini tuh kayak beraaaat banget rasanya, dari tadi aku juga meriang. Atau sekarang memang dingin, ya, Na?”

Aku masih mengingatnya dengan jelas. Pada saat mengatakan itu, Tami menggunakan cardigan hitam dan kaos putih dipadukan dengan celana berwarna coklat bersamaan dengan warna hijab yang senada.

 “Kayaknnya aku demam, deh, Na. Dingin banget suer, aku nggak masuk deh mata kuliah kedua. Lagian kalau aku libur sehari juga nggak masalah, kan, ya? Hahaha.”

Aku tahu, sangat tahu. Dia mengucapkan itu hanya untuk bercanda. Tapi entah kenapa aku sangat emosi mendengarnya.

“Kamu mah enak, ya? Jadi anak emas dosen, libur sehari juga nggak masalah. Toh orang tuamu juga pasti maklum, kan? Anaknya juga butuh istirahat dari belajar. Kamu kan pinter.” Raut wajah Tami berubah beberapa detik, lalu berganti lagi. Sayangnya, raut wajahnya sudah tertangkap di indera penglihatanku.

“Iya, ya? Aku tahu sih ini salah, tapi aku pusing banget. Dibanding aku tidur di kelas gimana, hayoo? Aku ke ruangan hima dulu ya, kamu duluan aja. Semangat belajarnya, demi lulus cepat. Bye!

Aku masih sangat mengingatnya. Tamira memang tidak masuk mata kuliah kedua hari ini. Karena pada akhirnya dia terbaring di ruang klinik kampus. Tamira pingsan tepat saat ia membuka ruang hima. Sudah pasti aku merasa sangat bersalah kala itu, ditambah melihat senyum lebar Tamira ketika aku datang mengunjunginya.

Dia kuat. Aku akui itu, bahkan aku juga ingin menjadi sepertinya. Tamira yang selalu tertawa dan tersenyum. Seolah bertingkah seolah dunia memang sangat bersahabat dengannya. Padahal kenyataannya sangat jauh dari bayangan.

Dia selalu bercerita apapun kepadaku, apapun. Setidaknya itulah anggapan ku dulu. Tamira menceritakan tentang makanan yang disuka dan tidak disukanya. Cerita tentang betapa sakitnya dulu dia ditolak SBMPTN. Cerita tentang betapa tidak sukanya ia menggunakan warna yang cerah. Cerita tentang kriteria cowoknya. Masih kuingat bagaimana binar mukanya saat menceritakan cowok pujaan hatinya. Meski dia tau cowok itu tidak balik menyukainya, dia tetap menghadapinya dengan senyuman.

Terakhir yang aku ingat dari cerita Tamira, dia tidak lagi tinggal di rumahnya yang sesungguhnya. Aku sedikit terkejut saat mendengarnya. Karena dari yang kuingat, Tamira juga berasal dari kota yang sama denganku. Seharusnya ia juga memiliki rumah di sini.

“Lah berarti selama ini kamu tinggal di mana?”

Tamira tersenyum penuh arti kala mendengar pertanyaanku. Senyum yang seharusnya kutelusuri lebih lanjut artinya pada hari itu. Namun karena kebodohanku, aku malah tak menghiraukannya.

“Tahu nggak, sih, Na? Bulan depan aku umur 21 woiii. Udah legal nonton film yang ilegal, kan, ya?”

Di balik semua sifat positifnya, Tamira tetaplah seorang manusia. Dia juga memiliki sisi error nya.

“Matamu, sok banget omongannya. Nanti dilihatin yang asli malah nangis,” ujarku sambil mendorong pelan kepalanya. Dia tertawa ngakak pada saat itu.

“Tapi, Na, kalau aku nggak barengan sama kamu lagi pas aku umur 21 tahun gimana, ya?”

Aku tersentak mendengar pertanyaannya. Kenapa begitu tiba-tiba pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Lagi-lagi aku bertindak bodoh, aku membalasnya dengan candaan.

“Ya aku cari kawan baru lah.”

Dia langsung memukulku cukup keras. Sedikit sakit, tapi aku puas melihat eskpresi jengkelnya. Sangat menghibur.

Begitulah keseharianku dengannya. Walau terkadang aku merasa insecure dengan kehadirannya, tapi aku tetap menganggapnya sebagai temanku yang sangat penting. Aku dan dia selalu bersama ke mana-mana. Pagi, siang, sore, hingga pulang ke rumah masing-masing juga tetap berdua.

Tapi pada hari itu aneh. Sudah 3 hari Tamira tidak membalas pesanku. Hari pertama pesanku masih tersambung ke ponselnya. Tapi 2 hari belakangan, ponselnya tak lagi bisa dihubungi. Bahkan teman-teman organisasinya yang tidak kukenal, menghubungiku untuk menanyakan kabar Tamira.

Siang itu ada panggilan dari nomor yang tak kukenal menelponku. Saking banyaknya yang menanyakan Tamira, kupikir ini juga dari orang yang sama. Namun, darahku seakan berhenti saat aku mendengar kabar dari seberang telpon. Aku membeku. Untuk bernapas saja sulit rasanya.

Aku segera bergegas menuju alamat yang diberikan kepadaku. Air mataku bercucuran. Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera usai. Aku tidak mau ini terjadi.

Ya, benar. Aku mendatangi rumah Tamira. Saat aku datang, suasana di sana sangat ramai. Badanku semakin bergetar, pikiranku tak lagi jernih, aku tidak bisa memikirkan apapun saat ini. Aku bergegas masuk, keadaan di dalam rumahnya sangat kacau. Aku  melihat seorang pria tua sedang memeluk seorang wanita tua yang tampak sangat histeris. Di sebelahnya, terbujur dengan kaku jasad gadis yang sangat kukenal, Tamira.

Aku segera mendekat, masih sangat berharap bahwa ini hanyalah ilusiku. Aku menyentuhnya, ini nyata. Tanpa sadar, air mataku makin mengalir deras. Sesak, sakit, perih. Semuanya berpadu jadi satu.

Tamira pergi untuk selamanya. Meninggalkan dunia yang seharusnya menjadi saksi betapa bahagianya ia tinggal di bumi ini. Ia pergi tanpa meninggalkan rasa sakit.

Aku bergegas memberitahukan dosen, teman-teman organisasinya, bahkan senior yang sering bermain bersamanya. Semuanya terpukul atas kepergian Tamira. Gadis manis nan ceria itu kini tiada lagi bernapas di bumi. Ia telah pergi menuju keabadian selamanya.

Satu hal yang membuatku merasa gagal selama ini menjadi teman Tamira. Ternyata ia memendam luka yang teramat besar di hatinya. Selama ini ia tidak sebahagia ekspresi yang ditujukannya untuk orang-orang. Ia tidak sanggup lagi menahan luka yang kian membesar di hati dan pikirannya. Mungkin dia berpikir, memperpendek umurnya adalah salah satu hal yang dapat membantu meringankan penderitaannya.

Aku mendengar semuanya dari kakak tertuanya. Kini yang tersisa dariku hanyalah penyesalan. Mengapa aku tidak menyadarinya dari awal? Teman macam apa aku? Namun, menyesal pun tiada guna. Tamira telah tenang menuju kehidupan selanjutnya.

Damai di keabadian, Tami. Aku menyayangimu.

Wawasanproklamator.com Jauh Lebih Dekat

TAGS:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

Berita Terkait

Pacu Semangat Desain, Himpunan Mahasiswa PTIK Adakan Lomba Desain Grafis Logo
Jalani Proses Pengkaderan Lanjutan, Calon Wartawan UKPM-WP Sambangi Padang Ekspres

TERBARU

Iklan

TERPOPULER

Berita Terkait

Pacu Semangat Desain, Himpunan Mahasiswa PTIK Adakan Lomba Desain Grafis Logo
Jalani Proses Pengkaderan Lanjutan, Calon Wartawan UKPM-WP Sambangi Padang Ekspres
Menu