Setia Menunggu Ajalku

Azza WP
776

Setiap hari aku rasakan sakit hingga aku pun menggores sedikit demi sedikit tanganku, cukup sulit untuk diutarakan rasa kehilangan begitu mengendap pemikiran di kepalaku. Aku wanita yang tidak bertahan untuk hidup. Wanita dengan dosis obat tinggi seperti aku sangat sulit untuk bertahan lama, aku meminum banyak jenis obat tidur sedari aku masih duduk di bangku SMA. Kini dengan usiaku 24 tahun, aku pun masih aktif meminum obat itu. Aku Kanala, anak sebatang kara yang ditinggal oleh ibu dan ayah. Ibuku telah meninggal, ibu memang memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan dan setelah sepeninggalan ibu, akupun ditinggal ayah karena kecelakaan tunggal.

Aku tahu, ditinggal oleh ibu adalah hal tersulit di dalam diri seorang anak, namun jika ayah juga tidak bisa membangkitkan semangatmu untuk tetap hidup mungkin kejadiannya akan sama seperti aku. Aku masih sama seperti dulu, meninggalnya ibuku membuatku hancur sehancur-hancurnya. Dulu semangatku berkobar karena ibu, bahagiaku pun sebab ibu, semua hal yang aku lakukan hanya demi membahagiakannya. Sedari kecil ibuku sudah sakit-sakitan, aku takut tidak bisa membahagiakannya dan ibu tidak merasa beruntung telah melahirkan anak seperti aku, bahkan sangat fatal jika ibu tidak menganggapku anaknya.

Ayahku adalah seorang lelaki yang menurutku adalah manusia paling gagal yang pernah aku temui, dia memilih untuk mati dan meninggalkan aku karena dia anggap meninggalnya ibu itu disebabkan oleh dia yang tidak bisa merawat ibu dengan baik. Padahal aku rasa memang ajalnya ibu sudah menggenggamnya. Memang sedari dulu ibu juga sudah mulai sakit-sakitan, hanya saja rasanya terlalu mendadak kami untuk kehilangan.

Aku seperti anak terbuang yang tidak memiliki masa depan dan sama sekali tidak ada arah untuk tetap hidup. Ditinggal hingga rasanya aku bisa memperkirakan sanggupnya hingga mana usiaku ini. Hidup yang tidak berarti sedikit pun namun aku tidak bisa mendahului kehendak Tuhan untuk mengambil nyawaku terebih dahulu dari ketetapan-Nya. Aku manusia yang sebenarnya tidak punya apa-apa lagi selain nyawa, memang hidup juga tanpa memikirkan apa-apa.

Aku berharap cepat atau selambat-lambatnya hingga aku tidak sanggup lagi untuk meminum pil tidur ini, nyawaku sudah diambil oleh Yang Maha Kuasa. Wanita seperti aku sebenarnya tidak layak mengotori bumi yang sudah kotor ini, maksudku aku akan lebih mengotori bumi jika aku masih memijakkan kakiku disini. Aku berharap saat aku benar-benar tertidur oleh pil tidurku, Tuhan menyertaiku dan langsung lelap diakhir tidurku untuk selamanya.

Apa sesulit itu untuk meninggalkan dunia tanpa harus memaksakan mengambil nyawa sendiri? Aku sudah terlalu lelah untuk berbaring di atas kasur dalam keseharianku, tanpa ada rasa ingin melihat mentari di pagi dan rembulan pada malam harinya. Aku muak dengan kehidupan yang seakan memaksaku untuk melepas raga ini sesegera mungkin. Jemariku saja rasanya sudah sangat kaku, kulit kering dan rambut tak berarturan lagi. Sangatlah kumal dan tidak terurus.

Setiap sekali seminggu ada kerabat jauh yang menjengukku hanya sekadar mengantarkan makanan dan memasukkannya ke dalam kulkas. Entah kenapa masih ada yang baik padaku disaat aku saja tidak lagi peduli pada hidup yang sedang aku jalani, entah berantah dan sangat berantakan. Aku merasa manusia paling pengeluh dan paling sakit hingga akhir hidupku sebab hatiku telah kacau, sekacau-kacaunya sampai pikiranku sempit dan rasanya tidak mampu lagi untuk berpikir.

Satu peninggalan ibu yang hingga sekarang masih aku genggam,yaitu syal merah dengan namaku, syal yang sangat cantik dan aku sangat menyukainya. Ibu bilang syal itu untuk menghangatkan aku di kala dingin meranda, namun syal yang cukup mungil itu tidak mampu lagi meraba badanku, hanya mampu ku genggam dan selalu aku bayangkan tangan ibu menggenggamku di setiap harinya, aku rasakan kehadiran ibu walaupun hanya sekadar didalam tidurku. Aku mampu memimpikannya, berkhayal seakan ibu masih ada di dekatku.

Aku meringkuk, terpapah berjalan menuju kulkas. Aku memakan sedikit roti agar aku mampu bertahan hidup hingga besok, aku pun juga memaksakan tegukan air  kembali membasahi tenggorokanku sambil meminum pil tidurku. Namun kala itu Kanala tidak lagi dibiarkan Tuhan-Nya untuk tidur sementara. Di dalam genggaman tanganku ada syal yang menyusahkan pergerakanku yang tak mampu lagi menggenggam dengan erat. Syal sangat menggangguku untuk sekadar memegang segelas air putih.

Gelas yang aku bawa jatuh mengenai aliran listrik tepat di colokan panjang dekat kulkas saat itu. Aku yang sudah meminum obat tidur tidak lagi memiliki tenaga untuk tetap sadar dan terbangun. Rumahku terbakar dan aku hangus dengan syal yang aku genggam. Akhirnya Tuhan mendekatkan aku dengan ibu selangkah lebih cepat dari yang aku kira.

Wanita yang tidak tahu tujuan hidup sepertiku ini mati seketika, aliran listrik berjalan begitu cepat dibandingkan perkiraanku. Aku mati di tempat terakhir ibu menghembuskan napas terakhirnya, tepat di kasurnya dengan akhir kedipan mataku di dunia. Cukup waktu yang tahu betapa aku terlalu setia menunggu ajalku. Terlalu mengikuti sesal dan kepedihanku hingga napas terakhirku. Aku bertemu ibu, di kedipan terakhir tepat terlihat dikelopak mataku.

Wawasanproklamator.com Jauh Lebih Dekat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Fill out this field
Fill out this field
Mohon masukan alamat email yang sah.
You need to agree with the terms to proceed

Berita Terkait

Tergusur di Rumah Sendiri
Datang dan Pergi

TERBARU

Iklan

TERPOPULER

Berita Terkait

Tergusur di Rumah Sendiri
Datang dan Pergi
Menu