Eca menatap jam yang melekat pada pergelangan tangannya, pukul 12:00 WIB di mana matahari sedang terik-teriknya bersinar. Tangannya mulai meraih Foto yang terpajang di atas meja kantornya, terlihat sepasang sahabat yang sedang berpelukan dengan seragam khas pada zaman itu.
Lalu Eca menyeruput kopinya yang sudah dingin, dan berjalan ke arah balkon kantor. Matanya terlihat sangat menikmati suasana Kota Padang saat ini. Walaupun Eca sendiri bukanlah manusia yang berdarah Minang, ia tetap enggan untuk meninggalkan kota itu.
Kota yang membuatnya jatuh bangun hingga menjadi seorang direktur di kantor itu. Bahkan Eca kerap berpikir, “Kok bisa sampai di sini? Dari mana saya berproses?” apa lagi saat reuni alumni, bernostalgia bahwa saat dia menjadi seorang siswi ia tidak pernah ingin masuk ke dalam ruangan terkutuk itu.
“Nyonya Eca ada kiriman lagi dari kantor pos,” ujar salah satu karyawan, ia menjulurkan amplop itu. Jujur itu adalah amplop yang ia terima ke sekian kali. Eca pikir dia tidak pernah membuat masalah dengan orang lain.
“Kurirnya, tidak mau ngasih tahu lagi dari siapa?” tanya Eca dingin. Lantas wanita itu hanya menggeleng sambil menunduk menatap lantai ruangan.
“Yasudah, silahkan keluar!”
Amplop itu sudah tertata indah di atas meja, lagi dan lagi ia harus menghabiskan jam makan siangnya dengan membaca isi amplop yang tidak jelas pengirimnya itu, jemarinya yang lentik mulai membukanya.
Untuk Eca tersayang
Eca, siang ini kau tidak perlu menghabiskan waktu untuk membaca surat ini. Apa kau tidak rindu masakan lamun ombak? Biasanya kau tidak pernah absen di sana saat sebelum ke kampus.
Aku sangat suka melihat tingkahmu, Melihat senyummu menatap ombak yang tenang seusai kelas. Aku dengar-dengar di Padang sedang marak Covid-19 lagi ya? Hati-hati di sana ya Eca.
Salam hangat
Elgi
Eca melotot kaget, akhirnya Ia menemukan dalang penulis surat ini. Senior yang satu organisasi di Unit Kegiatan Mahasiswa dengannya, namun Eca masih bertanya-tanya. Mengapa laki-laki itu mengiriminya surat terus? Bukankah dulu ia adalah laki-laki yang sangat tidak peduli dengan Eca?
Bahkan saat Eca jatuh di hadapan Elgi, laki-laki itu enggan membantunya, malahan ia melenggang pergi tanpa satu patah pun, Eca tidak habis pikir Elgi yang cuek bisa mengiriminya surat setiap hari.
***
Eca berjalan perlahan, melewati pusat kegiatan mahasiwa yang tidak pernah sepi, ia sangat ingat Elgi selalu duduk di sana lalu menatapnya dengan sinis. Eca berhenti sebentar, lalu tersenyum penuh arti. Kakinya mulai melangkah lagi menuju batu-batu di tepi pantai. Lalu duduk di sana dengan tenang.
“Rasanya begitu dekat,” ujar Eca sembari merentangkan tangannya.
“Dekat dengan ombak maksudmu nona? Bukankan rektor sudah melarangmu buat ulah lagi dengan bolos ke sini?”
Eca spontan menoleh, “bang Elgi?!”
“Sok tahu kamu.” Jawabnya datar.
Eca tersenyum, lalu kembali menatap lautan itu lagi. “Saya tahu bagaimana suaramu, walaupun kamu sendiri tidak ingin berbicara dengan saya.”
“Sangat sulit untuk melakukan itu Ca.”
“Lalu sekarang kenapa bisa?” tanya Eca heran.
“Ya karena saya sudah bimbel bicara Eca…”
“Kenapa harus bimbel?” tanya Eca lagi.
“Karena untuk berbicara dengan dirimu itu mahal Eca…”
Eca tidak pernah berharap apapun ke pada laki-laki yang sedang duduk di sampingnya, jangankan harapan ia saja selalu ingin mengutuk laki-laki itu.
Wawasanproklamator.com Jauh Lebih Dekat