Menjadi sopir angkot sejatinya bukan pilihan. Hanya karena tidak ada lahan lain saja para sopir angkot ini tetap rela bergelut dengan pekerjaannya. Sebab wajah Padang kini sudah tidak ramah lagi.
Sebut saja Herman (61), salah satu dari sekian banyak sopir angkutan umum berplat hitam di Padang yang terus berupaya menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan misi sosialnya mengantarkan para mahasiswa dan pelajar menimba ilmu di jenjang pendidikannya masing-masing.
Herman namannya, dengan wajah berukir senyuman ketika dengan senang hati ia menyebut namanya. “iya, biasanya orang-orang disini panggil saya man” ungkapnya dengan bahasa Indonesia khas padang. Ketika saya temui di angkot jurusan Simpang Presiden – Universitas Bung Hatta (UBH). Sore itu (23/05/11).
Kursi angkot yang dikemudikan Herman sepi tanpa penumpang. “ Mungkin karena sudah sore, mahasiswa sudah tidak banyak di kampus lagi.” Ungkapnya getir dengan sorot matanya penuh kegalauan sembari kepalanya tetap menoleh kekiri dan ke kanan berharap ada penumpang yang siap menghentikan angkotnya yang ber-plat polisi BA 2087 SL.
Cigak Baruak atau CB sebutan mahasiswa untuk mobil yang setiap harinya mengantarkan mereka ke kampus. Umumnya, penguna CB ini mahasiswa UBH dan pelajar SD, SMP dan SMA Bunda hingga masyarakat sekitarnya. Mobil angkutan menuju kampus memanglah hanya berplat hitam ini yang banyak digunakan. Karena mobil Angkutan Kota (Angkot) tinggal sedikit hanya bisa dihitung oleh jari.
Sikap Herman begitu ramah sekali dan dengan senang hati dia menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang saya tanyakan. Meski kadang kali sering tidak fokus menjawab karena sembari mengemudi ia melihat ke kiri dan ke kanan, apakah masih ada penumpang yang menunggu di tepi jalan atau menghentikan mobil butut nya.
“ya begini lah nak, setiap harinya, saya cuma bisa mengumpulkan uang Rp 80.000,” keluhnya. Dengan penghasilan hanya Rp 80.000 sehari, ia dituntut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ia menceritakan bahawa, ia memiliki lima anak dan semuanya itu sedang di jenjang pendidikan. Anak pertama kuliah di UNP, kedua kuliah di STKIP, yang ketiga sedang di SMA 5, sedangkan empatnya di SMA Kartika, lalu yang terakhir di SMP 22.
“Saya harus berusaha terus mencari uang supaya saya bisa menyekolahkan dan menghidupi mereka,” ungkapnya lagi seraya menambahkan kalau angkot yang dia kemudikan sekarang bukan miliknya.
Karena telah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Lelaki paruh baya ini, memilih menghentikan mobil bututnya tepat di depan Pasar Ulak Karang. Beristirahat sejenak, dan berencana untuk kembali kerumahnya di daerah Kuranji. Rumah yang sederhana yang ia cintai dan telah ia tempati semenjak tahun 1990 lalu.
“Saya harus mengantarkan mobil ini dulu ke juragannya, dan menyetor seperti biasa Rp 30.000 per harinya,” untung juragan angkotnya mengerti akan keadaan yang ditemui para sopir dijalanan.
Bisa jadi apa yang diucapakan lelaki tua ini adalah representasi dari mayoritas kehidupan sopir angkot di Padang, setidaknya untuk jalur Simpang Presiden – Universitas Bung Hatta (UBH). Padahal masih ada banyak trayek angkot dengan kondisi serupa. Misalnya, Balai baru – Ampang – Pasar Raya, By Pass – Pasar Raya. Hampir semua penumpang sekarang beralih ke sepeda motor.
Sepanjang perjalanan tadi, lelaki yang mengemudikan mobil CB merah ini, tidak terlihat mengeluh sedikitpun meski tidak ada seorang pun yang menghentikan mobil bututnya. Sorot matanya, terlihat ada harapan besar untuk mendapat penumpang serta membawa sedikit uang untuk istri dan anak-anakanya sehingga bisa membuat dapur dirumah tetap mengepul.
Kosongnya angkot menjadikan saya lebih leluasa mengajukan pertanyaan. “untung saya dibantu oleh istri yang mau menjual lontong dirumah, sehingga bisa menutupi sedikit demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.”ungkapnya jujur.
Endah mahasiswa jurusan…UBH menjelaskan, angkot CB ini adalah alat pembantu saya menuju kampus, walaupun dalam keadaan sepi penumpang angkot ini tetap akan mengantarkan penumpangnya ke kampus.
“Yah, kadang-kadang ada juga beberapa sopirnya yang menunggu sampai penumpangnya penuh. apalagi tak memperhatikan penumpang yang sudah kepanasan di dalam mobil yang berukuran kecil ini.” Ceritanya.
WawasanProklamator.com Jauh Lebih Dekat